Nasional

Indikasi Agenda Politik di Balik Isu Jokowi Cawapres 2024

Mahkamah Konstitusi menuai kritikan banyak pihak usai juru bicaranya menyebut presiden dua periode bisa menjadi wakil presiden berikutnya. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

RIAULINK.COM - Isu Presiden Joko Widodo menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2024 menjejali linimasa media sosial. Tak lepas dari pernyataan juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono yang menyebut presiden dua periode bisa menjadi cawapres di periode berikutnya.

Fajar mengatakan tidak ada aturan yang melarang presiden dua periode menjadi cawapres. Menurutnya, lebih kepada masalah etika.

"Kalau itu secara normatif boleh saja. Tidak ada larangan, tapi urusannya jadi soal etika politik saja menurut saya," kata Fajar saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Pernyataan itu direspons miris oleh publik. Tidak sedikit orang terutama di media sosial yang mempertanyakan independensi Mahkamah Konstitusi.

Ada pula yang mengingatkan bahwa Ketua MK Anwar Usman sudah menikah dengan adik Presiden Jokowi pada bulan Mei lalu. Kecurigaan yang muncul tak lagi bisa dibendung.

Spekulasi Agenda Politik MK

Kritik lalu mengalir dari para pakar pemilu dan hukum tata negara.

Salah satunya Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini yang menyesalkan pernyataan juru bicara MK mengenai hal tersebut.

Menurutnya, wajar jika MK jadi bulan-bulanan di media sosial ketika juru bicaranya bicara legalitas presiden dua periode menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya.

"Hal itu wajar bila menimbulkan pertanyaan dan juga spekulasi bahwa ada intensi atau agenda politik pragmatis di balik pernyataan tersebut," kata Titi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (15/9).

"MK sebagai pengadilan politik harusnya tidak latah berkomentar apalagi terhadap sesuatu yang sangat politis dan kontroversial di masyarakat," tambahnya.

Indikasi agenda politik MK menjadi semakin tercurigai. Pasalnya, relawan, politikus Partai Gerindra serta PDIP mengafirmasi soal Jokowi bisa menjadi cawapres meski sudah menjabat dua periode.

Disambut Projo, Gerindra, PDIP

Kepala Bappilu DPP PDIP Bambang Wuryanto menyebut Jokowi bisa menjadi wakil presiden di periode berikutnya. Dia menyatakan secara gamblang bahwa Jokowi memang bisa menjadi wapres meski sudah menjabat presiden dua periode.

"Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres ya sangat bisa, tapi syaratnya diajukan oleh parpol atau gabungan parpol," kata Bambang di DPR, Jakarta, Selasa (13/9).

Meski demikian, dia belum bicara kans PDIP mengusung Jokowi kembali di Pilpres 2024 sebagai cawapres. Bambang mengatakan keputusan berada di tangan Megawati Soekarnoputri. Selaku ketua umum.

Isu menjadi lebih mengerucut ketika Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman bicara soal kans Prabowo diduetkan dengan Jokowi.

Menurut dia, secara hukum, Jokowi bisa dicalonkan sebagai cawapres. Habiburokhan menyebut tak ada larangan dalam konstitusi UUD 1945.

"Ya kalau kemungkinan kan ada saja. Secara konstitusi kan dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi. Tanpa putusan MK kan juga sudah jelas," mengutip detik.com, Rabu (14/9).

Relawan Pro Jokowi (Projo) juga ikut angkat suara. Bahkan dengan gamblang menyatakan bahwa wacana duet Prabowo-Jokowi merupakan dinamika politik yang tak bisa dipungkiri.

Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi mengklaim wacana tersebut muncul dan telah berkembang di masyarakat umum. Dia pun menyebut tak ada aturan dalam UUD 1945 yang terlanggar jika Jokowi menjabat wakil presiden.

"Konstitusi mengizinkan. Politik kan soal seni kemungkinan. Wacana ini sah- sah saja. Yang namanya aspirasi masyarakat tidak bisa di larang. Soal terwujud atau tidak itu kan banyak variabel nya," ujar Budi Arie lewat siaran pers, Kamis (15/9).

Akan tetapi, Budi juga menggunakan kacamata lain dalam melihat wacana Prabowo-Jokowi yang berkembang. Dia mengatakan wacana itu bisa saja bermakna bahwa cawapres yang akan mendampingi Prabowo nanti adalah orang yang direkomendasikan oleh Jokowi. Bukan Jokowi yang menjadi cawapres Prabowo.

"Seperti perintah Pak Jokowi untuk Ojo Kesusu. Kami memandang Wacana Jokowi sebagai Wapres Prabowo itu maknanya wapres Prabowo itu adalah sosok yang di endorse atau di rekomendasikan Pak Jokowi. Hubungan Prabowo dan Jokowi sangat baik.

Banjir Kecaman

Kecurigaan serta kritikan tak hanya mengalir jauh di media sosial. Sejumlah pakar hukum tata negara pun mengkritik wacana presiden dua periode bisa menjadi wakil presiden di periode berikutnya yang diucapkan juru bicara MK Fajar Laksono.

Mantan Ketua MK Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa presiden dua periode termasuk Jokowi tidak bisa maju lagi sebagai calon wakil presiden untuk periode berikutnya.

"Iya, tidak bisa jadi cawapres baik dari segi hukum maupun etika," ujar Jimly saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Kamis (15/9).

Menurut Jimly, Pasal 7 UUD 1945 tidak boleh hanya dibaca secara harfiah melainkan harus dibaca secara sistematis dan kontekstual.

Adapun Pasal 7 UUD 1945 berbunyi: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

"HANYA untuk satu kali masa jabatan," tegas Jimly.

Pakar hukum tata negara Denny Indrayana juga menyatakan hal serupa. Menurutnya, bisa jadi keajaiban dunia jika presiden dua periode dibolehkan menjadi wakil presiden untuk periode berikutnya.

"Faktanya, tidak ada seorang presiden yang pada periode kedua mencalonkan diri sebagai wapres. Kalau ada, itu akan menjadi rekor dan keajaiban dunia kedelapan," ujar Denny.

Denny menyampaikan bahwa pasal 7 UUD 1945 jelas membatasi masa jabatan presiden dua periode. Jika Jokowi menjabat wapres, lalu presiden berhalangan, Jokowi akan menjabat presiden tiga periode. Dan itu bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi Buka Suara

Setelah isu presiden dua periode bisa menjadi calon wakil presiden menjadi pembicaraan luas serta kritik berdatangan, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan pernyataan pada Kamis (15/9).

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ucapan Juru Bicara Fajar Laksono bukan pernyataan resmi.

"Pernyataan tersebut merupakan respons jawaban yang disampaikan dalam diskusi informal pada saat menjawab wartawan yang bertanya melalui chat WA, bukan dalam forum resmi, doorstop, apalagi dalam ruang atau pertemuan khusus yang sengaja dimaksudkan untuk itu," mengutip pernyataan MK.

"Sehubungan dengan itu, pada saat menjawab chat WA dimaksud, tidak terlalu diperhatikan bahwa jawaban tersebut dimaksudkan untuk tujuan pemberitaan, sehingga jawaban disampaikan secara spontan, singkat, informal, dan bersifat normatif."

Klarifikasi dari Mahkamah Konstitusi tersebut terkesan janggal. Pasalnya, jurnalis yang bersangkutan sudah memberitahu sejak awal kepada Juru bicara MK Fajar Laksono bahwa jawabannya akan ditulis menjadi berita.