Nasional

Jokowi Bicara Krisis Bertubi-tubi: Makin Tahu, Makin Ngeri

Presiden Joko Widodo. (Biro Setpres/Muchlis).

RIAULINK.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan Indonesia tengah dihantui berbagai macam krisis. Mulai dari krisis energi, pangan hingga keuangan.

Menurutnya krisis yang datang bertubi-tubi ini dinyatakan telah menghantam berbagai negara di dunia. Situasi ini menandakan bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja.

"Beberapa krisis pernah kita alami, tetapi ini bertubi-tubi krisisnya. Krisis karena pandemi, mau pulih kemudian ada perang. Kemudian masuk dan merembet kemana-mana. Masuk ke krisis pangan, masuk ke krisis energi, masuk ke krisis keuangan. Kalau kita semakin tahu, semakin ngeri," ujarnya dalam Rakernas II PDI-P, Selasa (21/6).

Kepala negara ini menyebutkan krisis tersebut sudah terjadi di beberapa negara diantaranya Sri Lanka dan Pakistan. Dimana negara tersebut dinilai mengalami krisis pangan, energi hingga keuangan karena terjebak pada pinjaman utang yang sangat tinggi.

"Jadi sekali lagi, ngeri saya kalau lihat angka-angkanya," kata Jokowi.

Kondisi ini lah dinilai perlu diketahui oleh masyarakat luas, bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja dan berada dalam situasi yang berat. Salah satunya tercermin dari krisis energi dimana banyak negara yang tak mampu mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) sehingga terjadi kenaikan harga.

Di Indonesia kenaikan harga BBM ini tidak terjadi. Sebab, pemerintah mengalokasikan anggaran hingga Rp502 triliun untuk mensubsidi energinya. Namun, Jokowi menekankan hal ini tidak akan bisa dilakukan terus menerus demi kesehatan keuangan negara.

Ia merinci di Indonesia harga pertalite Rp7.650 per liter dan pertamax Rp12.500 per liter sampai Rp13 per liter. Ini jauh berbeda dengan negara tetangga seperti Singapura dan Jerman sebesar Rp31 ribu per liter dan Thailand Rp20 ribu per liter.

"Kita masih Rp7.650 per liter. Tapi kita harus ingat subsidi kita besar sekali, bisa dipakai untuk membangun ibu kota karena angkanya sudah Rp502 triliun. Ini semua yang harus kita mengerti. Sampai kapan kita bisa bertahan dengan subsidi sebesar ini," pungkasnya.