Nasional

Sejarah Berdirinya PGRI

RIAULINK.com - Politik penghematan anggaran yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di awal 1930-an membuat rakyat semakin sengsara. Di antara kebijakan pemerintah Hindia Belanda adalah pemangkasan anggaran pendidikan. Kebijakan itu pun memantik kemarahan para guru. Kebijakan itu pun ditentang, terlebih berdampak pada guru-guru bantu. Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menuliskan akibat kebijakan itu, pada 1931, banyak guru bantu yang menjadi korban pemecatan.

Volksoonderwijzersbond atau Persatuan Guru Hindia Belanda (PGBH), organisasi yang telah ada sejak 1912 terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah dan pemilik sekolah melakukan aksi protes terhadap kebijakan itu. Protes atas pengusutan anggaran pendidikan oleh PGBH, juga didukung sejumlah organisasi lainnya yang bergerak dalam pendidikan seperti Budi Utomo. PGBH pun terus berjuang sambil menyempurnakan organisasinya.

Para guru menuntut persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Seiring berjalannya waktu, perjuangan para guru pun semakin berkobar dengan diiringi kesadaran mencapai kemerdekaan.

“Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak merdeka,” tulis Musriadi dalam Profesi Kependidikan secara teoritis dan aplikatif. 

Akhirnya pada 1932 PGBH berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Organisasi ini merupakan kumpulan dari beberapa organisasi profesi guru, di antaranya Persatuan Guru Bantu (PGB), Persatuan Guru Ambachtshool (PGAS), Volksnoderwijzers Bond (VOB), Oud Kweek Scholieren Bond (PNS), Hogere Kweek Schoileren Bond (HKSB), Persatuan School Opziener (PSO) dan Perserikatan Normal School (PNS).

Dalam Ensiklopedi Umum yang diterbitkan Kanisius menuliskan kala itu jumlah anggota seluruhnya mencapai 15 ribu orang. Yang terbesar yakni VOB atau Perserikatan Guru Desa dengan 103 cabang dan 9 ribu anggota. Sedang pada kongres 1934 jumlah anggtoa PGI mencapai 20 ribu anggota. Namun di tahun itu, PGB keluar dari PGI karena dinilai kurang tegas dan giat dalam memperjuangkan nasib guru bantu.

Perubahan nama dari PGBH menjadi PGI pun membuat Belanda terkejut sekaligus semakin khawatir. Sebab pemakaian kata Indonesia menjadi cermin munculnya semangat kebangsaan, menentang pemerintah Hindia Belanda, dan menginginkan kemerdekaan. Kebijakan penghematan pemerintah Hindia Belada terus menjadi pembahasan dan penentangan keras PGI dari tahun ke tahun.

Terbukti, penentangan para guru terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda semakin sering terjadi. Salah satunya PGI menentang usaha pemerintah Belanda yang akan memindahkan urusan pengajaran dari pusat ke daerah daerah.

Usaha ini dianggap sebagai kemunduran dalam pendidikan mengingat kurangnya keuangan daerah. Karena itu para guru menentang penyerahan urusan pengajaran kepada pemerintah daerah sebelum ada perbaikan perhubungan keuangan daerah.

Sementara pada saat Jepang menduduki Inodneisa, PGI tak bisa melakukan aktivitasnya karena Jepang menutup sekolah-sekolah yang ada. Namun setelah beku selama pendudukan jepang organisasi itu muncul kembali dengan semangat baru.

Terlebih setelah proklamasi Kemerdekaan, para guru bergerak cepat untuk menyelenggarakan kongres guru. Kongres itu dilakukan di Solo pada 24-25 November 1945.

Melalui kongres itu segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku dihapuskan. Di kongres inilah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.