Melukis Wajah Tuhan
Melukis Wajah Tuhan
Kasih dan sayangMu tak putus
Mengalir gelombang cahaya
Laut dan pelayaranya
Darat dengan pengembara
Lahirkan aku dalam badai
Mengutip percikan jadiMu
Mata irama
Fikir menari
Hati menyapa
Aku bernyanyi
Kun fayakun…
Rentak angin
Berikan hidup
Nyalakan ingin
Tak meredup
- LAM Riau akan Beri Gelar Adat, Jokowi Belum Pasti Kapan Datang
- Melalui Gelar Budaya, Mahasiswa Inhil Di Jogja Kenalkan Budaya Melayu Di Tanah Jawa
- DPRD Riau Desak LAMR Berikan Penjelasan Terkait Pemberian Gelar Ke Jokowi
- Wasekjen Hanura, Sayed Junaidi Rizaldi: Tidak Ada Masalah Jika Jokowi Diberi Gelar Adat Melayu
- Sambut Hut Meranti 10 Dekade, Kecamatan Merbau Gelar Festival Dangdutan dan Langgam
Adalah waktu
Adalah Kau
Adalah aku
Yang terpukau
Pada malam
Menakik sunyi
Mendedah kelam
Berharap suci
Sujud basah
Airmata tumpah
Zikir medesah
Purnama melimpah
Talqin rindu
Beribu tuju
Menderu satu
Tak bersekutu
Aku melukisMu
dari segala tampak,
dari segala bunyi,
dari segala rasa,
dari segala bau,
dari segala aku
yang tak tahu
Namun kasih dan sayangMu selalu menjadi tinta di kanvas waktuku. Kun fayakun, jadilah wajahMu di setiap tarikan nafasku.
(hk_221118)
Sekuntum Bunga dan Secangkir Kopi
Setiap pagi yang datang wajahmu menjelma seperti sekuntum mawar merah yang sedang mekar. Ada keindahan menyesak dari lembaran waktuku yang terselip di pandanganmu. Engkau hendak lantunkan wewangian, namun keraguan membelai sukmamu. Harap terhalang jarak usia yang memerah pada alur kasih. Kau tak ingin memudar di antara pertemuan suci yang telah dijanjikan.
Aku layari ragumu dengan secangkir kopi. Setiap deru yang lahir dari kisah ini menjadi jalan memahami waktu. Mungkin keikhlasan masih belum cukup untuk kita hidangkan, tersebab pengorbanan terlalu perih ditikam perbedaan.
Sekuntum bunga dan secangkir kopi adalah rasa yang sepadan mewakilkan perjumpaan kita. Tak perlu ada kebencian untuk bersembunyi dari manis dan pahitnya hari yang kita lalui. Biarlah kenangan tetap indah di lubuk hati sebagai pengalaman.
(hk_171118)
Raudhah
Berkali-kali aku ditikam resah. Tak sempat juga mentalqinkan rindu di antara lima waktu yang dijanjikan. Muzaik duniawi berlipat-lipat menghimpit nafas; mengubur hajat dalam kebisingan tak beralamat. Aku mabuk jarak yang sunyi; menggali tubuh pada Subuh, membujur pada Zuhur, tekapar pada Asar, menjadi kerib pada Magrib, dan melahirkan air mata pada Isya. Tapi segalanya tak tertahan; aku kembali tersesat dalam diri.
Raudhah; antara rumah dan mimbar kekasih Allah, semakin kerdil aku terlahir. Semakin asing dipelukkan sang kekasih, tersebab lalai memaknai rindu. Cahaya asmara dari hijrah paripurna mengarah langkah pada purnama, namun takbirku tak sempurna berharap. Hanya jadi sepintas angin, sebutir debu di padang pasir. Aku kehausan, ya Allah.
(hk_18)
Hang Kafrawi adalah Ketua Program Studi Sastra Indonesa dan Sastra Melayu, FIB Unilak. Ia juga memimpin kelompok Teater Matan.
Tulis Komentar