Hukrim

Turun ke Kuansing, KPK Telusuri Aset Bupati Nonaktif Andi Putra

Bupati Kuansing nonaktif Andi Putra.

RIAULINK.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri aset milik Bupati Kuansing nonaktif, Andi Putra. Saat ini, Politisi Partai Golkar itu jadi tersangka suap pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) kebun sawit perusahaan, PT Adimulia Agrolestari (AA).

Untuk mengetahui aset anak mantan Bupati Kuansing Sukarmis itu, tim KPK langsung turun ke Kota Jalur. Tim dikabarkan sudah berada di Kabupaten Kuansing sejak Rabu (26/1/2022l kemarin.

Pelaksanaan tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri, membenarkan hal itu. Menurutnya, tim KPK yang turun dalam kegiatan itu adalah petugas Bagian Asset Tracing/ATR untuk mengetahui sejumlah aset milik Andi Putra.

"Info yang kami peroleh, benar ada kegiatan tim KPK dari bagian Asset Tracing/ATR yang sedang mengkonfirmasi soal beberapa asset diantaranya tanah dan bangunan yang diduga milik tersangka AP (Andi Putra, red)," ujar Ali, Kamis (27/1/2022).

Terkait penanganan kasus Andi Putra, dikatakan Ali, saat ini penyidik KPK masih melengkapi berkas perkara. Untuk itu, masa penahanan terhadap Andi Putra kembali diperpanjang sejak 17 Januari hingga 15 Februari di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih, Jakarta.

Tim Penyidik masih terus mengumpulkan berbagai alat bukti, dengan tetap menjadwalkan pemeriksaan saksi-saksi serta pemeriksaan tersangka untuk menguatkan dugaan perbuatan tersangka dimaksud.

Perpanjangan penahanan ini merupakan yang ketiga sejak Andi Putra ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Oktober 2021 lalu. Ketika itu Andi Putra ditahan selama 20 hari hingga 8 November 2021.

Perpanjangan penahanan pertama selama 40 hari mulai 8 November hingga 17 Desember 2021. Perpanjangan penahanan kedua dilakukan selama 30 hari terhitung 18 Desember 2021 sampai 16 Januari 2022.

Dalam perkara ini, KPK juga menetapkan General Manager PT Adimulia Agrolestari, Sudarso, sebagai tersangka. Saat ini, perkara pemberi suap terhadap Andi Putra sedang diproses di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Diketahui suap berawal karena PT Adimulia Agrolestari ingin melanjutkan keberlangsungan usahanya dengan mengajukan perpanjangan HGU yang dimulai pada 2019 dan akan berakhir di tahun 2024.

Salah satu persyaratan untuk kembali memperpanjang HGU itu adalah dengan membangun kebun kemitraan minimal 20 persen dari HGU yang diajukan. Lokasi kebun kemitraan 20 persen milik PT Adimulia Agrolestari yang dipersyaratkan terletak di Kabupaten Kampar, dan seharusnya berada di Kuansing.

Agar persyaratan ini dapat terpenuhi, Sudarso kemudian mengajukan surat permohonan ke Andi Putra selaku Bupati Kuansing dan meminta supaya kebun kemitraan PT Adimulia Agrolestari di Kampar disetujui menjadi kebun kemitraan.

Selanjutnya, dilakukan pertemuan antara Sudarso dan Andi Putra. Dalam pertemuan tersebut, Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya dibangun di Kuansing dibutuhan minimal uang Rp2 miliar.

Sebagai tanda kesepakatan, sekitar bulan September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi Putra uang sebesar Rp500 juta. Berikutnya, pada 18 Oktober 2021, Sudarso diduga kembali menyerahkan uang ke Andi Putra sebanyak Rp200 juta.

Dalam kegiatan tangkap tangan, KPK pada Senin (18/10/2021), ditemukan bukti petunjuk penyerahan uang Rp500 juta, uang tunai dalam bentuk rupiah dengan jumlah total Rp80,9 juta, mata uang asing sekitar SGD1.680 dan serta HP Iphone XR.

Atas perbuatannya, Andi Putra selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tersangka Sudarso selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.