Opini

Masalah Terbesar Guru dalam Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif

Keterangan foto: Annisa algivari Mahasiswa Program Studi PGSD, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau

Model kooperatif adalah model yang banyak digunakan oleh guru ketika mengajar. Baik dari SD, SMP, SMA, hingga bangku perkuliahan. Model kooperatif adalah model pembelajaran yang menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang memiliki latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda.

Model kooperatif terbukti dapat meningkatkan antusiasme para siswa saat mengikuti proses kegiatan belajar mengajar, bila sang fasilitator aka guru mampu memfasilitasi siswanya dengan baik saat mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif. Seperti yang kita tahu, dibalik kelebihan suatu model, terdapat juga kekurangan yang dimilikinya, tak terkecuali model pembelajaran kooperatif. 

Siswa dituntut mampu kompak serta bekerjasama dalam menyelesaikan tugas maupun masalah yang diberikan oleh guru. Sesuai dengan namanya, model pembelajaran kooperatif memerlukan tanggung jawab setiap anggota kelompok, tidak boleh timpang sebelah. Namun kenyataannya, model kooperatif agaknya tidak terlalu dimaknai oleh siswa. 

Upaya pembagian kelompok secara heterogen tampaknya belumlah cukup mengatasi permasalahan yang ada, bahkan tidak mencapai sasaran. Apa permasalahan tersebut? Yakni tanggung jawab. Sudah bukan rahasia umum, bahkan anekdot terkenal tentang kerja kelompok layaknya perwakilan dari keresahan-keresahan dari para siswa yang merasa dirugikan.

 ‘Kerja kelompok, satu bekerja, lainnya berkelompok’ (berkelompok dalam artian bermain-main tanpa memedulikan temannya yang sedang mengerjakan tugas). Artinya, prinsip-prinsip dari model pembelajaran kooperatif tidak dilaksanakan oleh sebagian siswa, yang menyebabkan tidak tersampaikan hakikat dari pembelajaran kooperatif.
Pembagian kelompok secara heterogen memang mengatasi permasalahan yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif. 

Karena biasanya, siswa cerdas ingin sekelompok dengan siswa cerdas. Siswa berkemampuan biasa, tidak berani bergabung dengan siswa cerdas, akhirnya siswa biasa lebih percaya diri bergabung dengan siswa biasa pula. Akibatnya, akan muncul diskriminasi terhadap perbedaan. Tapi jangan sampai guru melupakan hal terpenting dari model pembelajaran kooperatif, yakni tanggung jawab.

Nilai karakter tanggung jawab merupakan salah satu hal yang akan dinilai oleh guru ketika mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif. Bukan sekadar kesempurnaan hasil dari tugas, tetapi juga menyangkut sejauh mana siswa menjalani prinsip-prinsip kooperatif dalam mengerjakan tugas maupun memecahkan masalah. Keaktifan siswa perlu dicermati. Apakah mereka aktif karena antusias mengerjakan tugas kelompok atau aktif karena sedang bermain-main?

Agaknya, semua permasalahan dalam proses pembelajaran, kembali kepada sang guru. Bagaimana guru mengendalikan suasana serta alurnya. Siswa barangkali bisa menutupi perbuatannya, atau siswa yang dirugikan menutupi kenyataannya ketika ia hanya sendiri mengerjakan tugas kelompok. Tetapi guru yang memahami perannya, mampu mengatasi hal-hal tersebut. 

Kebijaksanaan guru akan melahirkan siswa-siswa yang bijaksana pula. Guru harus tegas menerapkan aturan dalam kerja kelompok. Sehingga aturan-aturan tadi mengikat siswa untuk tidak melakukan perbuatan yang melenceng ketika bekerja kelompok.

Siswa rajin dan bertanggung jawab, tidak membiarkan temannya bermain-main, ia akan berani mengingatkan teman-temannya jika mereka tidak bertanggung jawab. Lalu setiap anggota kelompok memahami beban tanggung jawab yang dipikulnya ketika bekerja kelompok. 

Begitulah nilai karakter yang dibidik oleh guru. Maka guru harus benar-benar menyelami prinsip-prinsip model pembelajaran kooperatif. 

Pada dasarnya, guru adalah fasilitator. Apa itu fasilitator? Yakni guru menjamin fasilitas untuk memudahkan kegiatan belajar bagi peserta didik, lingkungan belajar yang menyenangkan, antusiasme siswa saat belajar, termasuk bimbingan juga arahan guru dalam mengendalikan proses pembelajaran.

Penulis: Annisa algivari

(Program Studi PGSD, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau)