Opini

Melepas Ketergantungan Energi Fosil Menuju Energi Baru Terbarukan

Foto: Muhammad Zulkifly Ramadhan

Issu energi merupakan salah satu issu strategis yang banyak dibicarakan di dunia Internasional. Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 270,20 juta jiwa (Data BPS,2020) cenderung terus bertambah dan mendorong permintaan terhadap energi, terutama untuk keperluan transportasi dan listrik. Sementara produksi energi fosil (tidak terbarukan) terus mengalami penurunan memaksa pemerintah harus mengimpor minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 menyatakan bahwa energi memiliki peran yang penting artinya bagi peningkatan  kegiatan ekonomi dan keamanan nasional, sehingga pengelolaan meliputi penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaannya mestilah dilaksanakan secara berkeadilan, berlanjut dan berkesinambungan. Energi baru adalah energi yang dihasilkan oleh teknologi baru, baik yang berasal dari energi yang terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan.

Berdasarkan Perpres No, 5 Tahun 2006, arah Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia mulai mengurangi pemakaian bahan bakar fosil dan mengembangkan energi terbarukan sebagai  bauran energi ( energy mix). Saat ini potensi energi baru terbarukan (EBT) Negara kita cukub besar, diantaranya, biomasaa 50 GW, energy surya 4,80 kWh/m2/hari, micro hidro sebesar 450 MW, energi angin 3-6 m/det dan energi nuklir 3GW. Energi merupakan factor penting dalam perekonomian, kesejahteraan rakyat, juga keberlangsungan suatu Negara, sehingga ketersediaannya harus terus terjaga. 

Negara kita masih belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari fosil/hydrocarbon (migas dan batubara), sehingga dapat dipastikan bahwa struktur dan system ketahanan energi sangat bergantung kepada energi tidak terbarukan. Keamanan pasokan energi semakin penting, mengingat peningkatan kebutuhan energi di Negara kita terus meningkat seiring dengan  meningkatkan pertubuhan penduduk. Kebutuhan energi yang terus semakin meningkat perlu adanya aturan dan regulasi yang mengatur pemanfaatan energi yang maksimal. Dalam hal menghadapai permasalahan energi Pemerintah kita menjalin kerjasama dengan International Energy Agency (IEA) yang berkedudukan di Paris guna melihat sejauh mana kontribusi dan pengaruh kerjasama Negara kita – IEA terhadap optimalisasi Energy Mix di Negara kita.

Guna mengantisipasi semakin terbatas dan langkanya cadangan energi fosil nasional serta meningkatnya kebutuhan energi masyarakat, sudah sepantasnya Pemerintah Kita menggalakkan penggunaan Enegi Baru Terbarukan (EBT). 

Pengunaan EBT tidak hanya bermanfaat di sektor-sektor sosial dan eknomi masyarakat melainkan ditingkat Nasional bahkan Internasional  berupaya mengoptimalkan pemanfaatan EBT melalui kebijakan insentif tanpa  harus membebani masyarakat serta mendorong pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap impor teknologi. Antara lain penggunaan pembangkit tenaga energi panas bumi, tenaga surya, bioenergi, tenaga air dan tenaga angin. Disamping itu, pemerintah juga harus memikirkan melakukan kebijakan penggunaan biofuel (B20, B30, B40 dan B50) produksi dalam negerii sebagai pencampuran bahan bakar  mesin diesel dengan minyak sawit untuk mengurangi penggunaan energi fosil.

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementrian ESDM Andrian Feby Misnah (Liputan 6, 8/10/2019) menyatakan dari 6,6 juta KL kuota biodiesel, 68% (4,49 juta KL) sudah digunakan. Sehingga dengan demikian  biodiesel menjadi sangat penting mampu menekan import bahan bakar minyak (BBM). Hal ini harus diselaraskan dalam RUKN 20219-2038.

Trens global saat ini, diketahui ada beberapa Negara berkembang sedang ramai mengembangkan EBT, diantaranya Negara India, Afganistan serta Negara Uruguay. Berdasarkan pengamatan terhadap 3 negara tersebut saat ini, mereka telah sukses dan berkembang dalam pengembangan EBT. Mengingat Negara kita kaya akan sumber daya alam EBT, berharap EBT sendiri dapat dijadikan sebagai alternative pengganti energi fosil (Hidrokarbon) yang mana implikasi penerapannya dalam kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dalam konteks Issu Pemanasan Global. 

Ada 3 faktor utama keuntungan pemanfaatan EBT (Van Dijk, 2003 dalam Budiarto,2011) yaitu Pertama: ekonomi, social dan lingkungan, kedua: lapangan pekerjaan, ketiga: Kompetensi di dalam negeri dan luar negeri. Lantas sudahkah Pemerintah menemukan solusi yang terbaik dalam hal pengelolaan energi baru terbarukan ? Solusi apa yang menjamin tercapainya kesetabilan ekonomi dan sosial ditengah-tengah masyarakat ?

Apabila pemerintah masih menggunakan fosil sebagai sumber energi, maka bisa kita prediksikan bahwa industri yang bergantung dari energy fosil, diprediksi hanya bisa bertahan selama 25-50 tahun. Kita sadar bahwa setiap tahunnya Indonesia mengalami penambahan jumlah penduduk yang sudah barang tentu menambah beban penggunaan energi yang dibutuhkan masyarakat,  sehingga penggunaan fosil akan cepat habis dan semakin langka. Pemerintah perlu berpikir untuk jangka panjang terhadap sumber energi yang ada saat ini. Untuk Pemerintah mendukung penuh pelaksanaan EBT seperti memberikan anggaran untuk produksi jenis pembangkit EBT, Memperluas pemakaian pembangkit EBT di seluruh Indonesia, Mengembangkan dan memanfaatkan inovasi teknologi yang diperoleh dari para ilmuwan sehingga mereka dapat menciptakan pembangkit EBT. Lebih lanjut terkait beberapa strategi percepatan pemgembangan EBT, diantaranya :

  1. Diperlukannya kebijakan Pemerintah dalam mendukung perubahan tata kelola dalam upaya percepatan Proyek EBT maupun Pembangkit listrik tenaga surya,
  2.  Mendorong komitmen Pemerintah dalam mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan pembangkit Listrik Tenaga Surya melalui berbagai kebijakan insentif tanpa harus membebani kenaikan kepada masyarakat selaku konsumen,
  3. Menciptakan peluang pasar Energi Baru Terbarukan (EBT),
  4. Meminimalkan penggunaan sumber daya  minyak bumi (hydrocarbon).

Berdasarkan tinjauan dari beberapa aspek di atas, dapat dikatakan bahwa investasi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Negara Kita  cenderung belum maksimal, namun kita sadar sektor EBT memiliki potensi yang sangat menjanjikan jika dikelola secara maksimal, baik manfaat jangka panjang mencakup berbagai sektor, seperti sektor ekonomi dan lingkungan. Sebagai negara berkembang, Indonesia memang memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut dapat disiasati dengan mengubah fokus pembangunan Bangsa Kita yang semula mengandalkan energi fosil secara perlahan beralih ke energi terbarukan. Bahkan, pengembangan investasi EBT dapat menjadi salah satu langkah besar dalam pemulihan ekonomi Indonesia saat ini.

Penulis : Muhd. Zulkifly Ramadhan

Subtema : Ekonomi dan Sosial Masyarakat