Ekonomi

'Mimpi Siang Bolong' Prabowo Swasembada hingga Hapus Utang

Prabowo sandi

RIAULINK.COM - Sampul depan bertuliskan 'Empat Pilar Menyejahterakan Indonesia: Adil Makmur Bersama Prabowo-Sandi' menghiasi laman depan visi misi calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua.

Bundel berkas berisi 14 halaman itu menjadi amunisi bagi kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno untuk bertarung memperebutkan takhta pemimpin negara periode 2019-2024. 

Empat pilar yang dimaksud dalam buku itu mencakup pilar ekonomi dengan 41 program aksi, pilar kesejahteraan rakyat dengan 30 program aksi, pilar budaya dan lingkungan hidup dengan 18 program aksi, dan pilar politik, hukum dan pertahanan keamanan dengan 21 program aksi. 

Di dalam visinya, calon presiden (capres) nomor urut 02 itu menekankan Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi. 

Ambil contoh soal pangan. Cita-cita swasembada pangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap dibenturkan dengan kebijakan impor pemerintah terhadap sejumlah komoditas. Sebut saja, beras, gula, garam, hingga jagung, yang semuanya menuai polemik. 

Namun, jika Prabowo mau belajar dari pengalaman pemerintahan Jokowi, sebetulnya keran impor untuk komoditas jagung pernah dibatasi pada 2016 lalu. Hasilnya, angka impor turun drastis dari jutaan ton menjadi hanya ratusan ribu ton. Tetapi, kebutuhan melompat tinggi, sementara pasokan nihil, membuat harga jagung 'selangit.' 

Contoh lain, soal tumpukan utang pemerintah. Kubu Cawapres Sandiaga Uno bahkan sempat berujar bahwa setiap bayi yang baru lahir dibebani utang Rp13 juta. Menyoal utang Pemerintahan Jokowi-JK ini seakan tak ada habisnya, kubu Prabowo-Sandiaga pun mewacanakan memangkas proyek infrastruktur apabila terpilih nanti. 

Tak seperti Jokowi yang sejak awal pemerintahannya hingga saat ini berfokus mengalokasikan anggaran pada pembangunan infrastruktur, kubu Prabowo mengklaim akan meningkatkan anggaran untuk sektor dengan keunggulan alami, yaitu program pembangunan pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, peternakan, koperasi, Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM), pariwisata, dan ekonomi kreatif. 

Dari sektor manufaktur, kubu Prabowo berupaya membangun industri hilir dan manufaktur nasional berbahan baku lokal guna memberi nilai tambah bagi komoditas dalam negeri. Selain itu, membangun kembali industri strategis nasional yang mampu memproduksi barang modal guna mengurangi ketergantungan impor. Sayangnya, tak ada langkah konkret yang diungkapkan dalam program aksi tersebut. 

Dari sisi fiskal, kubu Prabowo-Sandi selama ini menyoroti isu rasio pajak yang masih minim dan mengaku akan mendorong penerimaan pajak dalam jangka panjang. Yang menarik, kubu Prabowo malah memunculkan strategi penurunan bahkan penghapusan beberapa jenis pajak. 

Disebutkan, capres nomor urut 02 akan meningkatkan daya beli masyarakat dengan menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan PPH 21. Selain itu, menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama untuk meringankan beban hidup, khususnya kebutuhan papan masyarakat. 

Terkait kebijakan makro, Prabowo sempat bertutur akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga lebih dari 10 persen. Dikutip dalam buku bertajuk 'Pandangan Strategis Prabowo Subianto Paradoks Indonesia', Ketua Umum Partai Gerindra itu menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi 5 persen menunjukkan kegagalan.

Menanggapi hal itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai mimpi kubu Prabowo-Sandiaga soal pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 10 persen masih terlalu muluk. Terlebih jika melihat kondisi ekonomi global dan struktur ekonomi Indonesia saat ini.

Secara struktur, Bhima mengatakan kondisi ekonomi dalam negeri masih cukup rapuh. Pasalnya, ekonomi dalam negeri masih terlalu banyak bergantung kepada sumber daya alam. Untuk tumbuh tinggi, Indonesia perlu mengubah struktur tersebut menjadi berbasis industri pengolahan dan hal itu memerlukan waktu yang tak singkat.

Selain itu, Bhima mengatakan untuk tumbuh 10 persen, pemerintah perlu memacu pertumbuhan kredit hingga lebih dari 20 persen. Kondisi tersebut belum dicapai karena ada banyak kendala.

Menurut Bhima, daripada muluk berbicara soal pertumbuhan 10 persen, lebih baik semua pemangku kepentingan mencari langkah konkret dan strategis untuk membenahi ekonomi Indonesia.

Selain itu, ia juga meminta pemangku kepentingan untuk mencari cara menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan bisa menurunkan ketimpangan, kemiskinan, serta tidak hanya dinikmati 1 persen penduduk Indonesia.

"Karena kalau soal mimpi pertumbuhan tinggi, Presiden Jokowi pun pernah mimpi ekonomi tumbuh 7 persen atau 8 persen, tapi sekarang kenyataannya?" katanya kepada media, beberapa waktu lalu.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Ekonom Indef lainnya Enny Sri Hartati menilai kubu oposisi memiliki keleluasaan untuk mengkritik hasil kinerja pemerintah yang belum memuaskan. Hal itu mungkin menjadi keluhan yang ingin diungkapkan sebagian masyarakat, dan bisa jadi termasuk masyarakat yang belum menentukan pilihan (swing voter). 

Namun, kubu oposisi punya tantangan untuk menyampaikan solusi yang konkret guna menjawab persoalan tersebut. 

Dalam kesempatan berbeda, Pengamat Ekonomi Said Didu menilai kubu Prabowo menempatkan isu pangan, energi, dan sumber daya alam di depan, meski belum memaparkan konsep kebijakan ekonomi secara gamblang. Kehadiran calon presiden baru juga dapat menjadi harapan bagi pihak yang merasa kecewa dengan kinerja Jokowi. 

Jokowi diuntungkan karena berada di posisi pemerintahan sehingga memiliki pengalaman. Di sisi lain, Prabowo memiliki ruang kritik yang lebih lebar terhadap poin-poin kinerja yang tak memuaskan.