ARTIKEL HERSUBENO ARIEF

Aksi 'Bunuh Diri Massal' Pers Indonesia

Ilustrasi

Pilpres 2019 membawa media dan dunia kewartawanan di Indonesia memasuki sebuah episode terburuk sepanjang sejarah pasca-Reformasi. Situasinya bahkan lebih buruk dibandingkan dengan era Orde Baru.

Kooptasi dan tekanan hukum oleh penguasa, sikap partisan para pemilik media dan wartawan, serta hilangnya idealisme di kalangan para pengelola media dan wartawan membuat mereka tanpa sadar melakukan 'bunuh diri' secara massal. Pers Indonesia memasuki masa gawat darurat!

Pada era Orde Baru, media melakukan dengan terpaksa karena tekanan rezim. Kendati begitu dengan berbagai cara, media tetap melakukan perlawanan, tetap menjaga idealismenya.

Saat ini banyak yang melakukan secara sukarela. Motifnya bermacam-macam. Menjadi bagian rezim dan menikmati rezeki kekuasaan, sekadar kepentingan bisnis, dan pragmatisme untuk mendapatkan remah-remah dari para penguasa.

Para wartawan, redaktur, maupun pimpinan media yang masih berakal sehat dan bersikap kritis harus mengalah kepada para pemilik media. Ini konskuensi dari media di era industri. Pers bukan lagi medan perjuangan.

Publik kehabisan akal, apatis, marah, dan menjadi kehilangan kepercayaan terhadap media-media di Indonesia. Di era kelimpahan informasi, dan menguatnya media sosial sebagai media alternatif, bila tidak segera berubah, media konvensional terancam ditinggalkan publik.

Ada memang yang tetap waras di tengah kegilaan massal itu. Namun mereka minoritas. Kebanyakan hanya media pinggiran dan bukan arus utama (mainstream). 

Media-media arus utama sebagian besar larut dalam sebuah 'kejahatan besar' yang disebut sebagai framing (membingkai berita), atau di Indonesia dikenal dengan istilah 'pemelintiran' dan 'menggoreng isu'. Dua istilah terakhir ini bahkan jauh lebih jahat dari framing.

Media-media arus utama sebagian besar larut dalam sebuah 'kejahatan besar' yang disebut sebagai framing (membingkai berita), atau di Indonesia dikenal dengan istilah 'pemelintiran' dan 'menggoreng isu'.
 - - 

Framing dalam pengertian umum adalah praktik membingkai sebuah berita, sehingga informasi yang sampai kepada pembaca atau pemirsa berbeda dengan fakta sebenarnya. Framing biasanya dilakukan dengan cara mengutip atau mengambil gambar dari sudut (angle) tertentu, sehingga persepsi yang diterima publik menjadi berbeda. Cara ini dilakukan secara halus. Masih ada sentuhan 'seninya'.

Sementara pemelintiran adalah niat jahat menjungkirbalikkan fakta dengan tujuan-tujuan tertentu. Caranya bermacam-macam. Biasanya sangat kasar dan menabrak semua kaidah jurnalistik dan akal sehat. Ada yang dengan sengaja mengutip pernyataan secara salah, mengajukan pertanyaan yang menjebak, mewawancarai narasumber yang tidak tepat, dan berbagai teknik lainnya.

Praktik ini kemudian diikuti dengan teknik 'menggoreng isu'. Biasanya mereka bekerja sama dengan sejumlah politisi atau tokoh yang ikut membesar-besarkan masalah dengan mengabaikan fakta.

Setelah itu, agar paket 'penggorengan isu' menjadi lengkap, ada kelompok-kelompok masyarakat yang disiapkan untuk melakukan unjuk rasa. Aksi mereka diliput secara besar-besaran dengan target memicu aksi serupa di tempat lain. Setelah itu sang tokoh yang menjadi sararan 'penggorengan' dipaksa meminta maaf.

Ajaibnya setelah meminta maaf, isu ini kembali digoreng untuk menunjukkan bahwa tokoh ini tidak layak karena sering membuat kesalahan dan meminta maaf. Sikap luhur bersedia minta maaf, terlepas salah atau tidak, dipelintir lagi untuk mendiskreditkan sebagai kelemahan sikap.

Salah atau Sengaja Salah Mengutip?

Laman tirto.id edisi Sabtu (24/11) membuat liputan menarik seputar ‘kegilaan' media. Parahnya kesalahan itu juga terjadi tidak hanya pada media lokal, namun juga sejumlah media asing. Dalam sebuah artikel berjudul 'Pangkal Ucapan Prabowo Soal Kedubes Australia yang Keliru di Media', diungkapkan betapa media keliru (sengaja?) mengutip pernyataan Prabowo.

Laman BBC Indonesia pada 22 November 2018 menurunkan laporan berjudul 'Prabowo: Pemindahan kedutaan Australia ke Yerussalem bukan masalah untuk Indonesia'.

Republika Online juga menurunkan laporan yang berjudul 'Prabowo: Pemindahan Kedutaan Australia Bukan Masalah Bagi RI' pada Kamis 22 November 2018 pukul 22.19 WIB. Laman berita Viva News juga menurunkan artikel dengan judul hampir senada, 'Prabowo Tak Masalah Kedutaan Australia Pindah ke Yerusalem' pada Jumat 23 November 2018 pukul 04.15 WIB.

Bukan hanya media online dalam negeri, pernyataan Prabowo juga disimpulkan secara keliru oleh situs berita luar negeri Sydney Morning Herald (SHM). Dalam artikel yang dimuat pada Kamis 22 November 2018, SHM menurunkan artikel berjudul 'Indonesian Presidential Candidate Says Jerusalem Move No Problem' yang dalam bahasa Indonesia berarti 'Calon Presiden Indonesia Mengatakan Pemindahan ke Yerussalem Bukan Masalah'.

Kekeliruan dalam menyimpulkan pernyataan Prabowo bermula dari kesalahan mengutip pernyataan Prabowo. Dalam sesi wawancara dengan wartawan usai menjadi pembicara di acara Indonesia Economic Forum di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada 21 November 2018 lalu, Prabowo ditanyai dua buah pertanyaan dalam bahasa Inggris.

Pertanyaan: Dengan latar belakang militer Anda, bagaimana menurut Anda soal dukungan Australia terhadap rencana AS membangun pelabuhan militer di PNG (Papua Nugini, red)? Haruskah Indonesia memberi perhatian khusus? Bagaimana pula tanggapan Anda soal rencana Australia memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem?
Prabowo: PNG sangat dekat dengan Australia secara tradisional. Jadi itu urusan Australia dan PNG dan AS. Saya tidak melihat itu menjadi masalah bagi Indonesia.

Untuk pemindahan kedutaan, saya belum membaca soal keputusan Australia memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Kita sebagai pendukung Palestina, kita tentu punya pendapat sendiri, tapi Australia juga merupakan negara independen dan berdaulat, maka kita harus menghormati kedaulatan mereka.

Kedua jawaban Prabowo ini kemudian dicampuradukkan: jawaban atas pertanyaan tentang dukungan Australia terhadap rencana militer AS membuka pangkalan militer di PNG dengan pemindahan Kedubes Australia ke Jerusalem. Jadilah terkesan Prabowo mendukung Australia membuka Kedubes di Jerusalem.

Isu kemudian digoreng oleh para politisi dan media. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membuat rilis pers, 'PDIP: Pernyataan Prabowo Setuju Pemindahan Kedubes Australia ke Yerusalem Ahistoris'.

Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, Politisi Demokrat yang pernah menjadi pendukung Prabowo dan sekarang membelot ke kubu Jokowi, juga membuat rilis pers yang disebar ke media.

Menurut TGB, pernyataan Prabowo itu menafikan jalinan sejarah perjuangan Palestina yang erat dengan perjuangan bangsa Indonesia. “Ini bukan sekadar masalah kedaulatan suatu negara sahabat, tetapi ini isu kebangsaan dan keumatan yang selalu menjadi perhatian kita sebagai bangsa,” kata TGB.

Hampir semua politisi kubu pendukung inkumben ramai-ramai mempersoalkan isu ini. Metro TV bahkan menjadikan isu ini sebagai sorotan khusus dalam editorialnya. Di media sosial ini juga digoreng habis oleh buzzer pendukung inkumben. Mereka meluncurkan tagar #PrabowoAntekZionis.

Para lawan Prabowo ini sangat tahu bahwa isu Palestina sangat sensitif bagi umat Islam, terutama di perkotaan. Sementara basis pemilih Prabowo di kalangan pemilih ini sangat kuat.
Dampak pencampuran fakta dan opini ini bahkan sampai memengaruhi pendukung Prabowo. FPI dan GNPF Ulama juga ikut mengecam dan mempertanyakan sikap Prabowo. Bisa disimpulkan pemelintiran dan penggorengan isu ini cukup berhasil.

Mengubah Judul
Sejumlah media asing yang menyadari kekeliruannya langsung mengubah judul dan isi beritanya. BBC misalnya mengganti judul 'Prabowo: Pemindahan kedutaan Australia ke Yerussalem bukan masalah untuk Indonesia' menjadi 'Pemindahan kedutaan ke Yerusalem, Prabowo hormati kedaulatan Australia'.

SMH yang semula menulis judul 'Indonesian Presidential Candidate Says Jerusalem Move No Problem' diubah menjadi 'Presidential candidate says Indonesia should respect Australian sovereignty on embassy move'.

Bagaimana dengan media-media di Indonesia? Tak ada pengubahan judul. Benar mereka kemudian menampilkan versi lengkap wawancara Prabowo. Namun tidak ada revisi judul, apalagi permintaan maaf. Mereka malah terus menampilkan berita tanggapan yang salah dari sejumlah sumber.

Selain Viva dan Republika, sesungguhnya banyak media lain yang membuat berita yang salah tersebut. Jejak digitalnya bertebaran. Tinggal googling dan kita akan menemukan fakta media melakuan kesalahan berjemaah.

Untuk isu ini kita masih berbaik sangka, mungkin sebagian besar kesalahan terjadi karena pemahaman bahasa Inggris wartawan yang terbatas. Atau mereka cuma me-copy-paste berita yang dibuat oleh seorang wartawan. Praktik ini sudah menjadi praktik yang 'lazim' di kalangan wartawan. Sudah tahu sama tahu.

Akibatnya ketika yang dipercaya membuat berita salah, maka semuanya menjadi salah. Yang patut kita curigai adalah praktik penggorengannya. Jelas ada unsur kesengajaan. Sebab bukan hanya kali ini Prabowo menjadi korban pemelintiran dan penggorengan media.

Yang patut kita curigai adalah praktik penggorengannya. Jelas ada unsur kesengajaan.
 - - 

Kasus 'tampang boyolali' juga digoreng habis media dan kubu inkumben. Demikian pula soal pernyataan Prabowo yang menyatakan miris karena karier lulusan pelajar SLTA di Indonesia menjadi tukang ojek online (ojol).

Keprihatinan Prabowo terhadap masa depan anak muda Indonesia dan keinginannya memperbaiki nasib anak bangsa, dipelintir dan digoreng habis sebagai penghinaan. Sejumlah pengemudi ojol di berbagai kota dikerahkan untuk mendemo Prabowo.

Yang terbaru adalah pernyataan Prabowo yang kesulitan mengajukan kredit ke Bank Indonesia. Isu ini juga digoreng habis untuk menunjukkan kebodohan Prabowo. Padahal yang dimaksud adalah perbankan di Indonesia.

Sebagai pengusaha besar multinasional, sangat mustahil Prabowo tidak mengerti bahwa Bank Indonesia menangani regulasi perbankan, bukan memberi kredit.

Bukan hanya Prabowo yang menjadi korban pemlintiran dan penggorengan media. Nasib Cawapres Sandiaga Uno juga tak kalah buruk. Sandi, misalnya, menjadi korban bully dan unjuk rasa akibat melangkahi makam salah satu pendiri NU, Kyai Bisri Syansuri.

Saat ini yang menjadi 'bola panas' yang sedang digoreng media adalah tudingan korupsi terhadap Koordinator Juru Bicara Prabowo-Sandi, Dahnil Anhar Simanjuntak. Praktik jahat semacam ini tak boleh terus dibiarkan. Media harus diperingatkan.

Betapa bahayanya permainan mereka hanya untuk mendukung langgengnya sebuah kekuasaan.

Seperti pernyataan penulis terkenal asal Selandia Baru, Lance Morcan, yang perlu kembali dikutip, kooptasi media dampaknya sangat mengerikan. Kita sedang bersuka cita sambil meracuni 'persediaan air bangsa'. Dampak kerusakan akan menyeluruh, merusak semua sendi kehidupan bangsa Indonesia. Terlalu mahal.