Nasional

Stakeholder dalam Collaborative Governance: Reformasi Kebijakan Publik

MASUKNYA era reformasi, menjadi awal dari sebuah perubahan sekaligus tantangan bagi negara Indonesia untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dari pada era orde baru, ketika itu praktik KKN dan kepentingan penjabat seakan menjadi kebudayaan bagi para birokrat. Sedangkan didalam pelaksanaanya, birokrasi harus menjalankan aturan dan pelayanan publik di Masyarakat. Adapun fungsi birokrasi: menjalankan tugas sesusai dengan tujuan birokrasi, menjalankan program dan kebijakan guna mencapai visi dan misi pemerintahan dan negara.

Munculnya era reformasi akan berpengaruh terhadap sistem birokrasi dan reformasi kebijakan publik untuk menjadi lebih baik. Dalam menentukan kebijakan publik yang goal orientied perlunya peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan adanya reformasi kebijakan publik dari perspektif makro dan mikro. Maka buku “Reformasi Kebijakan Publik”. Dapat dijadikan acuan dalam peningkatan keputusan kebijakan publik.

Mengenai buku ini, penulis mengambil garis besar kombinasi kebijakan publik yang bermakna, urgensi dan implementasi reformasi kebijakan publik. Reformasi menjadi sebuah jalan pembaharuan pada sistem kebijakan publik, yang meliputi dan koreksi terhadap birokrat. Dalam pembaharuan pada dimensi struktural, fungsional maupun kultural.

Secara struktural reformasi kebijakan publik maka dibahas pula mengenai disentralisasi makna dan urgensi yaitu penyerahan kekuasaan pemerintahan oleh pemerintahan pusat kepada Pemerintahan Daerah berdasarkan asas otonomi. Pemerintahan Daerah yang memiliki otonomi penuh melalu desantralisasi menurut Koesoemaatmadja dibagi menjadi dua bentuk: 1) perlimpahan kekuasaan dari tingkat atas kepada bawahannya menjadi jalan guna memperlancar tugas pemerintahan; 2) dalam lingkaran desantralisasi rakyat dapat menggunakan jalan tertentu (perwakilan) ikut serta menjadi aparatur pemerintahan (Sarundajang, 1999: 46).
Di era demokrasi yang berlakunya otonomi daerah ini, kebijakan publik tidak hanya menjadi kebijakan pemerintahan saja, namun dari oleh untuk publik. Sesuai dengan UU No.23 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.23 Tahun 2014 mengenai pemerintahan yang memberikan hak seluasnya untuk menyusun dan menetapkan kebijakan dalam menyingkapi kebutuhan masyarakat di daerah. Maka, dalam penyelenggaraan pemerintahan harus dipahami mengapa, dan untuk siapa kebijakan tersebut disusun, siapa yang terlibat dan dilakukan evalusi terus menerus.

Implementasi kebijakan bukan hanya kegiatan dan program yang telah disusun kemudian dilaksanakan. Namun, juga prihal konflik dari sebuah kebijakan yang telah ditetapkan siapa yang menetapkan dan untuk siapa. Seperti proses pembangunan desa yang menjadi unit terkecil yang dikelola menuju kesejahteraan yang menjadi hak dan tanggung jawab bersama. Proses dalam memperdaya masyarakat desa tentu bukan secara instan. Dalam proses ini mempunyai tiga tahap yaitu: 1) Penyadaran, menyadarkan mereka punya hak namun juga ada tanggungjawab dan mengerti bahwa mereka diberdayakan dan proses itu dimulai dari diri masyarakat; 2) Pengkapasitasan, memampukan memberikan kapasitas kepada individul atau kelompok manusia agar siap menerima daya atau kekuasaan yang diberikan; 3) Pemberian daya itu, diberikannya daya atau otoritas sesuai dengan kualitas, kecakapan yang dimiliki.

Perumusan kebijakan publik adalah proses pemecahan masalah yang ada, dimana mempelajari permasalahan tersebut baru mengambil tindakan yang tepat terhadap permasalahan itu, dan aktor yang terlibar dalam pengambilan rumusan masalah ini awalnya hanya para birokat saja. Setelah reformasi partisipas masyarakat dalam pengambilan rumusan tentu sangat diperlukan, contohnya dalam penyusunan APBD. Namun mininmnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD ini di karenakan minin keterbukaan pemerintahan pada saat Musrenbang dalam penyusunan APBD.

APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dan disetujui oleh Pemerintahan Daerah. Menurut Mardiasmo (2002) bahwa salah satu aspek yang dikelolah secara hati-hati adalah pengelolahan keuangan dan angggaran daerah. Keuangan dan anggaran daerah yang digunakan untuk menentukan besarnya pendapatan dan belanja, alat pengambil keputusan dan perencanaan pembangunan. Dalam proses penetapan ini, implementasi dan evaluasi yang melibatkan stakeholder dalam kerangka collaborative governance.

Pentingnya collaborative governance guna menekankan stakeholder pada perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik secara komprehensif. Maka konsep collaborative governance sebagai framework dalam menggambarkan dan mendesain serta menganalisis perumusahan kebijakan APBN di daerah. Reformasi kebijakan publik dalam perbaikan APBN, dilakukan dengan cara: 1) mengevaluasi dan memperbaiki mekanisme dan tata cara Musrenbang yang dalam realitasnya dilaksanakan sungguh-sungguh bukan hanya formalitas belaka; 2) kesetaraan dalam Musrenbang, walaupun terlaksana sesuai prosedur, namun ketimpangan pengambilan keputusan berdasarkan tingginya kedudukan juga dapat menjadi masalah bagi kebijakan publik. Maka pentingnya kesataraan dalam reformasi kebijakan publik; 3) mereformasi program yang akan di implementasikan, sehingga minimnya kesalahan pada kebijakan publik dapat diatas dengan lebih mudah; 4) keterlibatan kompenen dalam masyarakat, lembaga dan pemerintahan, keterlibatan dalam bentuk kemitraan antara komunikasi dan kerja sama inilah yang disebut collaborative governance.

Melalui reformasi birokrasi yang ditulis dalam buku reformasi kebijakan publik guna mencapai good governance, tentu memerlukan perbaikan dan menciptakan sistem pemerintahan yang lebih baik, yang transparan serta akuntabilitas. Sehingga pemenrintahan yang baik berdampak pada pembangunan, kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga bungan rampai yang disusun oleh tim penulis menjadi acuan dalam reformasi kebijakan publik yang terus menerus mengalami evaluasi dan perbaikan.

Sehingga buku ini membahas secara makro dan mikro kebijakan publik yang telah di implementasikan kepada masyarakat. Sehingga dinamika ilmu administrasi, dalam kebijakan publik terus menciptakan langkah-langkah strategis dalam menentukan kebijakan yang lebih baik lagi. Dengan langkah kongkret yaitu mengevalusi, mengganti formula lama, memperbaiki formula yang sudah ada atau menemukan formula baru. Sehingga berhasil memperbaiki tatanan birokrasi dan kualitas pelayanan publik.

 

Silna Kausar (Mahasiswa Administrasi Publik,
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Islam Malang)