Nasional

Pindah Ibu Kota atau Sembuhkan 'Sakit' Jakarta?

RIAULINK.COM - Biaya untuk membangun ibu kota baru di Pulau Kalimantan sangatlah besar, yakni Rp 485 triliun. Begitu pula biaya untuk menyembuhkan 'sakit'nya Jakarta yang diprediksi mencapai Rp 500 triliun.

Lalu, lebih baik yang mana?

Menurut Tim Peneliti Pemindahan Ibu Kota Institut For Development of Economic and Finance (INDEF), Rizal Taufikurahman, besarnya biaya untuk memperbaiki Jakarta akan memberikan dampak positif yang jauh lebih besar. 

Rizal menuturkan, Jakarta yang menjadi penopang perekonomian Indonesia akan memberikan multiplier effect yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional.

"Kalau pun itu iya sebesar itu, tapi jelas memberikan multiplier, memberikan kontribusi terhadap ekonomi, itu clear, jelas. Tapi ini memindahkan uang (untuk membangun ibu kota baru di Kalimantan) tidak jelas gitu, artinya tidak memberikan dampak terhadap perbaikan ekonomi.Kalau dalam tujuannya ekonomi harusnya itu," ujar Rizal di Restoran Rantang Ibu, Jakarta Selatan, Jumat (23/8/2019).

Rizal menegaskan, dengan mengalokasikan biaya pemindahan ibu kota untuk memperbaiki Jakarta maka bisnis atau industri di Jakarta dapat lebih produktif.

"Itu lebih baik dibanding memindahkan ibu kota, artinya memberikan hasil yang lebih produktif. Artinya agregat supply, produksi agregat melalui perbaikan industri atau sektor-sektor yang produktif itu lebih baik. Yang seperti apa? Ya di Jakarta ini. Karena Jakarta ini kan pusat bisnis, pusat ekonomi," terang Rizal.

Selain Rizal, ekonom senior Emil Salim yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup di era pemerintahan Soeharto juga berpendapat sama.

Menurutnya, dana sebesar itu lebih baik dialokasikan untuk mengembangkan sistem transportasi di Jakarta sehingga mampu mengatasi macet. Perlu diketahui, kemacetan di Jakarta sendiri menyebabkan kerugian ekonomi Rp 65 triliun per tahun berdasarkan data World Bank 2017.

Emil mengatakan, meski biaya untuk pengembangan transportasi di Jakarta juga terbilang besar, namun biaya tersebut dapat diperoleh kembali dengan pendapatan dari para pengguna transportasi umum.

"Tetapi yang pemakai angkutan itu kan bisa bayar. Ada soal ya soal kita atasi, seperti macet dan macam-macam, maka dengan angkutan kereta api dan lainnya, si pemakai itu bayar dong, jangan gratis itu. Jadi beban pemecahan mengatasi kemacetan harus dipikul pemakai dari angkutan itu, jangan main gratis-gratisan," papar Emil.

Sebagai informasi, sebelumnya Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika menilai perpindahan ibu kota lebih menguntungkan jika dibandingkan harus terus menerus menelan rugi akibat kemacetan Jakarta tadi.

"Pemborosan-pemborosan itu sudah bukan masa nya lagi bagi kita untuk mengkompromikan. Akan lebih murah lagi anggaran tadi dipakai salah satunya untuk pemindahan ibu kota saja dan program-program yang lain," katanya dalam diskusi Perspektif Indonesia di Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu (4/5/2019).

Selain itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga mengatakan integrasi antarmoda transportasi di Jabodetabek membutuhkan biaya yang tinggi. Angka Rp 571 triliun disebut Anies dibutuhkan untuk membangun transportasi yang terintegrasi tersebut.

"(Rp 571 triliun) itu adalah anggaran pembangunannya. Jadi misalnya kita akan membangun MRT sekarang baru 16 km nanti akan dibangun 231 km, LRT lebih dari 120 km, lalu kereta api yang ada di bawah akan dinaikkan itu muter 27 km sehingga tidak ada lagi kemacetan akibat kereta api yang berhenti," ujar Anies di kantor Wali Kota Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2019).