Lingkungan

Bonita Renggut Nyawa Manusia, Jikalahari Desak Pemerintah Cabut Izin Korporasi HTI & Sawit di Inhil

INHIL, RIAULINK.COM - Masih ingat kah kita kisah pilu kematian tiga orang pekerja di PT THIP akibat terkaman Harimau Sumatra (Bonita) masih terngiang ditelinga masyarakat Kabupaten Indragiri Hilir. Bahkan hewan buas tersebut muncul di pemukiman warga seperti memburu manusia disekitarnya.
 
Kematian sadis para karyawan/i tersebut meninggalkan luka bagi keluarga dimana para korban dicabik-cabik oleh hewan buas tersebut. Pekerja itu tidak menyangka kalau mereka diintai oleh Bonita yang lagi mengincar daging segar manusia di kawasan perkebunan sawit yang dulunya belantara hutan tempat tinggal mereka.
 
Kemunculan hewan buas bernama Bonita tersebut akibat manusia bongkar hutan alam tempat mereka hidup sudah terganggu dengan ganasnya kooporasi perusahaan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) membabat hutan gundul.
 
Maka dari itu Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak pemerintah mengembalikan ruang hidup habitat Harimau Sumatera dengan cara mencabut izin korporasi sawit, tambang dan HTI yang selama ini penyebab punahnya harimau sumatera di tengah perayaan hari harimau sedunia pada 29 Juli 2019 ini.
 
"Termasuk serius menjaga kawasan konservasi yang selama ini menjadi akses pemburu harimau karena tidak dijaga dengan serius oleh pemerintah," kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari.
 
Temuan Jikalahari, konflik harimau dan manusia terjadi di tengah areal korporasi di landscape Kerumutan. Pada 2018-2019 tiga orang meninggal dunia diterkam harimau. Pertama, Jumiati, karyawati PT THIP tewas diterkam Bonita (Harimau Sumatera) di KCB 76 Blok 10 Afdeling 4 Eboni State PT THIP Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Inhil pada Januari 2018.
 
Kedua, 10 maret 2018, Yusri tewas diterkam harimau saat bekerja membangun bangunan sarang walet di RT 038 Simpang Kanan Dusun Sinar Danau Desa Tanjung Simpang Kecamatan Pelangiran Kabupaten Inhil.
 
Ketiga, 23 Mei 2019, Amri 32 tahun warga Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Inhil tewas akibat diserang harimau di kanal sekunder 41 PT Riau Indo Agropalma (PT RIA), anak perusahaan Asia Pulp & Paper (APP) Grup.
 
“Ketiga kejadian tersebut terjadi di lansekap Kerumutan seluas 120 ribu ha sebagai habitat harimau yang telah dirusak 15 korporasi HTI dan HPH dan 7 korporasi Sawit,” kata Okto
 
15 korporasi HTI terdiri dari: PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Arara Abadi, PT Satria Perkasa Agung, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa, PT Bina Duta Laksana, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bhara Induk, PT Riau Indo Agropalma, PT Bina Daya Bentara dan PT Inhil Hutani Permai (HTI dan HPH).
 
7 korporasi perkebunan kelapa sawit: PT Tabung Haji Indo plantation/ PT MGI, PT Gandaerah Hendana, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idaman Nusa, PT Bhumireksanusa Sejati, PT Riau Sakti Trans Mandiri dan PT Riau Sakti United Plantation dengan dua konsesi (sawit). Ini mengakibatkan deforestasi di Lansekap Kerumutan. Pada 2005 luas hutan alam di Lansekap Kerumutan 512.972 ha saat ini tinggal 285.659 ha.
 
Selain menyebabkan konflik yang mengakibatkan 3 orang meninggal di landscape Kerumutan, banyaknya izin korporasi di Riau juga tidak menjaga terjadinya perburuan, bahkan perburuan terjadi di areal korporasi restorasi ekosistem. Perburuan terjadi konsesi restoarasi ekosistem anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), PT Gemilang Cipta Nusantara, di Semenanjung Kampar, Riau. Harimau Sumatera ditemukan terjerat seling baja di konsesesi PT GCN, dan akhirnya mati pada 16 April 2019.
 
“Ini juga bukti bahwa perusahaan yang diberikan izin menjaga melalui izin restorasi ekosistem karena dianggap memiliki sumberdaya yang kuat, ternyata salah, dan pemerintah harus mengambil alih hutan alam yang tersisa” kata Okto
 
"Tak ada jalan lain, pemerintah harus cabut izin perusahaaan bila bertekad menghentikan kepunahan harimau sumatera," kata Okto.