Politik

Gamang Prabowo, Janji Pangkas Pajak dan Genjot Penerimaan

Prabowo-sandi

RIAULINK.COM - Dalam debat pertama Capres pada bulan lalu, Capres Prabowo Subianto menjanjikan bakal meningkatkan rasio pajak (tax ratio) ke kisaran 16 persen. Prabowo kala itu menyebut rasio pajak Indonesia saat ini masih sangat rendah di kisaran 10 persen. 

Prabowo yakin dengan kenaikan rasio pajak tersebut, negara akan mendapatkan tambahan pendapatan sebanyak US$60 miliar atau Rp849,2 triliun (Kurs Rp14.154 per dolar AS). 

Rasio pajak merupakan indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak. Rasio ini mengukur perbandingan persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).

Meski berkeinginan mengerek rasio pajak, Prabowo juga menjanjikan akan menurunkan pajak penghasilan dan badan hingga 5-8 persen, serta membebaskan pajak sejumlah sektor. 

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menjelaskan untuk mencapai level pembangunan yang optimal, memang dibutuhkan level rasio pajak di kisaran 16 persen. Tak heran, capres nomor urut 02 ini 'bermimpi' mengejar rasio pajak tersebut. 

"Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan yang optimal setidaknya dibutuhkan tax ratio 16 persen. Kalau dicek di visi misi Joko-JK dan Prabowo-Hatta tahun 2014 juga mereka mengusulkan angka itu," ujar Yustinus, Jumat (15/2). 

Yustinus menjelaskan rasio pajak Indonesia dalam arti yang luas (mencakup penerimaan bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak sumber daya alam) tahun lalu tercatat sebesar 11,5 persen, naik dari 2017 sebesar 10,7 persen, 2016 sebesar 10,8 persen, dan 2015 sebesar 11,6 persen. Sementara dalam arti sempit atau penerimaan di bawah Ditjen Pajak saja, rasio pajak pada 2017 tercatat sebesar 8,47 persen. 

Target rasio pajak sebesar 16 persen pun menurut dia tak mustahil. Dengan catatan, untuk mencapai target rasio pajak 16 persen, penerimaan pajak harus meningkat sekitar Rp663 triliun jika menggunakan perhitungan asumsi PDB 2018 sebesar Rp14.745 triliun. Persoalannya, hal ini sulit dilakukan dalam jangka pendek.

"Mungkinkah dalam jangka pendek menarik pajak yang nilainya dua kali lipat kenaikan 2015 hingga 2018, tanpa menimbulkan kegaduhan dan menggencet pelaku usaha?" ujar Yustinus.

Target tersebut kian kontras dengan janji Prabowo-Sandi untuk menurunkan tarif pajak orang pribadi, badan usaha, hingga menghapus pajak bumi dan bangunan untuk rumah pertama, serta sepeda motor. 

"Artinya hasrat menggenjot rasio pajak dalam jangka pendek jelas hanya bisa bertumpu pada kenaikan tarif pajak, bukan sebaliknya. Penurunan tarif pajak dalam jangka pendek akan menurunkan penerimaan," terang dia. 

Di sisi lain, Yustinus menyebut sebenarnya kebijakan perpajakan di era Jokowi juga memasukkan penurunan tarif pajak sebagai bagian dari program reformasi perpajakan. Persoalannya, menurut dia, tarif pajak harus melalui perubahan Undang-Undang yang membutuhkan proses panjang.

Saat ini, menurut dia, Kementerian keuangan sudah mulai menyusun RUU pajak penghasilan sebagai salah satu kebijakan untuk membuat tarif pajak Indonesia lebih kompetitif dari negara lain. 

"Siapa pun pemimpinnya mempunyai tanggung jawab menuntaskan agenda reformasi yang telah dan sedang dijalankan," jelas dia. 

Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara sebelumnya menilai target kenaikan tax ratio yang tinggi dalam jangka pendek dapat mengganggu iklim investasi. Sebab, pengusaha tentu khawatir bakal dikejar pajak yang terlalu tinggi.

Apalagi, basis pajak usai kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty)dianggap stagnan. "Sehingga untuk kejar tax ratio hingga 16 persen harus ada grand design-nya," jelas Bhima. 

Bhima juga sepakat rencana Prabowo untuk menurunkan tarif PPh badan dan pribadi, serta membebaskan pajak tak akan meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek. Insentif pajak pun tak serta merta bisa mendongkrak basis pajak yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan. 

Ia pun menyarankan pemerintah yang nanti terpilih untuk mengejar basis pajak dari data wajib pajak di luar negeri yang pada 2017 lalu tak terjaring amnesti pajak melalui pertukaran data informasi secara otomatis (AEoI). 

"Serupa dengan pemberian insentif fiskal, tanpa perluasan basis pajak, maka menurunkan tarif PPh badan dan tax ratiobagai bumi dan langit. Masing-masing tak akan bertemu," imbuhnya. 

Dengan kondisi perekonomian saat ini, ia memprediksi rasio pajak dalam lima tahun ke depan hanya akan mencapai kisaran 13 persen. Hal itu pun dapat terwujud dengan catatan, penerimaan pajak harus lebih besar dibanding penerimaan PDB.